Pendidikan yang Kian Menjauh dari Mimpinya

Nadirsyah Hosen
-
Setiap 2 Mei, kita mengenang Hari Pendidikan Nasional. Tapi peringatan ini semestinya bukan hanya nostalgia, melainkan waktu yang tepat untuk menimbang ulang: ke mana sebenarnya arah pendidikan kita melaju? Apakah ia masih setia pada cita-cita awalnya—membebaskan, memanusiakan, dan membuka jalan bagi masa depan—atau justru semakin menjauh, terjebak dalam ketimpangan, kekakuan, dan komersialisasi?
Pertama, ketimpangan akses dan mutu pendidikan bukan lagi rahasia. Di satu sisi, ada sekolah unggulan berfasilitas lengkap. Di sisi lain, ruang kelas nyaris roboh, guru honorer tanpa pelatihan, dan fasilitas belajar seadanya. Ini bukan soal kerja keras, tapi soal kesempatan yang tidak pernah merata sejak awal.
Dulu, petani atau nelayan masih bisa bilang pada anaknya: “Belajar yang rajin, Nak, supaya bisa kuliah.” Tapi hari ini, kalimat itu menggantung di udara. Yang rajin belajar pun belum tentu bisa kuliah—terhalang biaya, minim akses, kalah bersaing dalam sistem yang semakin mahal dan teknokratis.
Solusinya bukan lomba inovasi atau pelatihan daring massal. Yang dibutuhkan adalah redistribusi guru berkualitas ke daerah tertinggal, intervensi terhadap sekolah dengan indeks ketertinggalan tinggi, dan anggaran berbasis kebutuhan nyata—bukan hanya angka statistik.
Kedua, apa yang diajarkan di sekolah sering tak relevan dengan dunia nyata. Anak-anak diajari rumus, tapi tak tahu cara kerja dunia. Dikejar ujian, tapi tak diajak berpikir kritis. Lulusan bingung karena keterampilan mereka tak nyambung dengan kebutuhan zaman.
Solusinya? Kurikulum harus hidup. Pembelajaran harus dikaitkan dengan proyek nyata, magang, kerja lintas disiplin, dan teknologi. Sekolah bukan pabrik ijazah, tapi tempat menyiapkan manusia yang adaptif dan mandiri.
Ketiga, pendidikan makin mahal dan menjauh dari cita keadilan sosial. Masuk sekolah unggulan butuh biaya besar. Kampus negeri pun tak lagi ramah untuk yang tak punya koneksi atau uang. Pendidikan, yang semestinya jembatan naik kelas, justru menjadi pagar pembatas.
Mari menata langkah ke depan—sebab selama masih ada guru yang setia, anak-anak yang bermimpi, dan masyarakat yang peduli, masa depan itu belum tertutup.
Tabik…
Komentar Pengunjung
Belum ada komentar.
Tinggalkan Komentar