Perang Tarif China vs AS: Adu Kekuatan Digitalisasi Dua Raksasa Dunia dan Di Mana Posisi Indonesia?

Jefri Taufik H. S.E
Praktisi Marketing
Ketika dua negara adidaya berseteru soal tarif dan teknologi, dunia ikut terguncang. Tapi di tengah riuhnya persaingan, satu pertanyaan penting muncul: Di mana posisi Indonesia di panggung digital ini?
Perang tarif antara Amerika Serikat dan China bukan sekadar soal ekonomi. Di balik layar, ini adalah perebutan dominasi digital: dari chip semikonduktor, jaringan 5G, kecerdasan buatan, hingga platform e-commerce dan media sosial global.
- - Amerika Serikat membatasi ekspor chip ke China, memblokir TikTok, dan mendorong inovasi domestik lewat CHIPS and Science Act 2022 dengan nilai investasi $280 miliar USD (sumber: whitehouse.gov).
- - China merespons lewat peningkatan investasi di sektor AI dan mempercepat pengembangan teknologi lokal, termasuk merilis model AI saingan ChatGPT dan memperluas e-commerce lintas negara melalui platform seperti AliExpress dan Temu.
Keduanya berlomba menguasai masa depan bukan dengan senjata, tapi dengan kekuatan digitalisasi.
Lalu, Indonesia di mana?
Indonesia saat ini berada di tengah pusaran kekuatan global, dengan potensi besar namun posisi masih sebagai pasar konsumen, bukan produsen teknologi. Beberapa hal penting:
- Kelemahan infrastruktur digital lokal, terutama di luar Pulau Jawa, masih menghambat pemerataan digitalisasi.
- Ketergantungan pada platform asing membuat data dan ekonomi digital Indonesia rawan dikendalikan luar negeri.
- Namun di sisi lain, UMKM digital, startup AI lokal, dan geliat ekosistem kreator konten mulai menunjukkan kekuatan dalam negeri.
Yang menggembirakan, lembaga pendidikan tinggi mulai turun tangan.
Salah satunya adalah Institut Islam Muara Jambi (INISMA) yang menyatakan digitalisasi sebagai satu dari 5 keterampilan utama yang wajib dimiliki mahasiswa agar siap masuk dunia kerja.
Tak hanya berhenti di wacana, INISMA membentuk IGDC (Inisma Growth & Develop Center) dengan visinya: "Menjadi pusat pelatihan unggulan yang mendorong pertumbuhan dan pengembangan keterampilan bagi individu dan organisasi, guna menciptakan SDM yang kompetitif, inovatif, dan siap menghadapi tantangan global."
Sebagai ruang nyata untuk mengasah keterampilan digital seperti content creation, digital marketing, hingga pengembangan AI agar lulusannya bukan hanya bisa kerja, tapi juga menciptakan peluang kerja.
Apa yang harus dilakukan Indonesia?
- Dorong kemandirian teknologi lewat investasi dan insentif untuk talenta digital.
- Buat kebijakan digital yang pro pelaku lokal, tanpa menutup diri dari kerja sama internasional.
- Jadikan Indonesia bukan hanya medan perang ekonomi digital global, tapi pemain aktif yang mengatur permainannya.
- Dan yang paling penting: revolusi digital harus dimulai dari pendidikan. Apa yang dilakukan INISMA bisa jadi contoh konkret untuk diikuti kampus-kampus lain.
Perang tarif China vs AS adalah pertarungan visi dan strategi. Tapi kita, sebagai negara berkembang dengan potensi besar, tak bisa terus berdiri sebagai penonton.
Saatnya Indonesia mendefinisikan sendiri peran dan masa depannya dalam ekonomi digital dunia dan itu dimulai dari kampus, dari talenta muda, dari aksi nyata seperti yang dilakukan INISMA.
Tentang Penulis
Jefri Taufik adalah praktisi marketing independen yang fokus pada transformasi bisnis konvensional ke era digital. Antusias dan aktif menulis opini dan strategi pemasaran berbasis data dan perilaku konsumen digital.
Komentar Pengunjung
Belum ada komentar.
Tinggalkan Komentar