Alhamdulillah, mulai tahun 2025 ini insya Allah akan berdiri Madrasah Aliyah Cendekia (MAC) Utsmaniyah di Jambi. Logo Madrasah Aliyah Cendekia (MAC) adalah konsep Madrasah dengan perpaduan kurikulum Nasional dan Internasional berbasis Boarding School (berasrama). Info lebih lanjut kontak: 0811 531 300 atau 0811 841 200. Logo Madrasah Aliyah Cendekia (MAC) Utsmaniyah Jambi gandeng MAN Insan Cendekia Jambi untuk kerjasama dalam hal mutu dan tata kelola. Logo Breaking News! INISMA Jambi buka Pendaftaran Mahasiswa baru jalur BEASISWA KIP KULIAH. Waktu dan kuota terbatas! Segera hubungi admin INISMA di 0811 7494 600. Logo

Waisak dan Thudong: Spiritualitas yang Menyapa Dunia

Foto Penulis
Muhammad Adib Abdushomad (Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama Kementerian Agama RI)
-
25 Mei 2025
16 kali dibaca

Hari Raya Tri Suci Waisak 2569 BE tahun ini hadir dengan nuansa yang lebih mendalam dan reflektif. Selain menjadi momentum penting bagi umat Buddha untuk memperingati tiga peristiwa agung dalam kehidupan Siddhartha Gautama—kelahiran, pencerahan, dan parinibbana (wafat)—Waisak kali ini juga disertai dengan fenomena spiritual yang langka dan menyentuh: Thudong. Tradisi para Bhikkhu yang berjalan kaki melintasi negara dari Thailand menuju Candi Borobudur ini menjadi penanda nyata bahwa spiritualitas sejati mampu melintasi batas geografis, budaya, bahkan sekat keyakinan.

Thudong bukan hanya perjalanan fisik, tetapi laku batin yang mendalam. Para Bhikkhu berjalan ratusan kilometer dengan penuh kesunyian, tanpa ambisi duniawi, mengandalkan kemurahan hati masyarakat sepanjang jalan yang mereka lewati. Masyarakat Indonesia dari berbagai latar agama menyambut mereka dengan penuh hormat dan welas asih. Inilah bentuk interaksi spiritual yang otentik—tanpa suara bising, tanpa retorika, tetapi justru menggetarkan ruang batin siapa pun yang menyaksikannya. Di tengah masyarakat yang sering dipenuhi oleh hiruk-pikuk pertentangan identitas, Thudong memberi pelajaran bahwa kedamaian bisa dimulai dari langkah kecil, satu demi satu, yang dijalani dengan rendah hati.

Fenomena ini sejatinya berkelindan erat dengan arah kebijakan negara. Kementerian Agama melalui Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 244 Tahun 2025 tentang Asta Protas menempatkan kerukunan dan cinta kemanusiaan sebagai prioritas utama dalam agenda keagamaan nasional. Penempatan ini bukan hanya simbolik, melainkan representasi dari kesadaran bahwa kerukunan adalah fondasi bagi seluruh kerja keagamaan yang lain. Tanpa kedamaian antarumat, program seperti transformasi digital layanan keagamaan, penguatan moderasi beragama, atau diplomasi internasional tidak akan memiliki pijakan sosial yang kuat. Maka, Thudong bukan sekadar ritual umat Buddha, melainkan juga cerminan konkret dari bagaimana nilai kerukunan diwujudkan dalam praktik.

Lebih jauh lagi, Thudong membawa pesan yang melampaui batas nasional. Di tengah dunia yang sedang mengalami peningkatan ketegangan geopolitik—konflik Rusia-Ukraina yang berkepanjangan, krisis kemanusiaan di Gaza, dan ketegangan terbaru antara India dan Pakistan—kehadiran para Bhikkhu yang berjalan tanpa bendera, tanpa slogan politik, tetapi membawa damai dalam diam, menjadi simbol spiritual yang kuat. Mereka seolah mengingatkan dunia bahwa perdamaian bukan hasil diplomasi formal semata, tetapi buah dari kerja batin yang tulus dan berkelanjutan.

Indonesia, dengan segala keragamannya, menjadi panggung yang layak bagi momen ini. Sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia yang juga menjamin kebebasan beragama, Indonesia tidak hanya menjadi tuan rumah, tetapi juga mitra spiritual dalam perjalanan ini. Thudong, dalam konteks ini, adalah bagian dari diplomasi kemanusiaan kita. Ia menunjukkan kepada dunia bahwa negeri ini tidak sekadar toleran, tetapi aktif merawat dan menghidupkan nilai-nilai damai lintas iman.

Pada titik inilah kita sampai pada inti paling mendalam dari pesan Thudong: bahwa semua agama pada dasarnya mengajarkan pengendalian ego dan penghormatan terhadap sesama. Dalam Buddhisme, Thudong adalah jalan untuk menaklukkan nafsu dan keterikatan duniawi. Dalam Islam, ajaran tazkiyatun nafs menekankan pentingnya penyucian diri dan kerendahan hati. Ajaran ahimsa dalam Hindu, caritas dalam Kekristenan, hingga keselarasan hidup dalam kearifan lokal Nusantara—semuanya bermuara pada hal yang sama: harmonisasi diri demi harmoni bersama. Ketika ego pribadi, kelompok, bahkan ego negara dilebur dalam semangat kemanusiaan, maka ruang damai akan tumbuh dengan sendirinya.

Perayaan Waisak dan peristiwa Thudong tahun ini tidak boleh berhenti sebagai peristiwa simbolik yang berlalu begitu saja. Dunia membutuhkan lebih banyak “pejalan sunyi” seperti para Bhikkhu itu, tidak harus secara harfiah, tetapi secara spiritual dan sosial—orang-orang yang bersedia menempuh jalan panjang untuk menebar damai tanpa pamrih. Mereka tidak datang untuk menguasai, tetapi menyapa. Tidak menyerukan kemenangan, tetapi menyodorkan keteduhan.

Waisak tahun ini memberi pelajaran penting: bahwa sejarah bukan hanya untuk dikenang, tetapi untuk dihidupi kembali dalam bentuk yang sesuai dengan zaman. Dan Thudong adalah salah satu wujud kontemporer dari nilai-nilai suci itu. Jalan sunyi yang menuntun kita untuk kembali pada kemanusiaan, kerendahan hati, dan perdamaian yang universal.



 

Kategori: Opini
Komentar Pengunjung

Belum ada komentar.

Tinggalkan Komentar
Anda harus login terlebih dahulu untuk mengirim komentar.
Tulis Opini Anda

Ingin berkontribusi dengan opini Anda? Kirimkan tulisan Anda sekarang.

Login untuk Menulis Opini
Syarat Pengiriman
  • Opini asli, bukan hasil plagiat
  • Gunakan bahasa yang sopan
  • Opini akan direview sebelum dipublikasikan