Dalam kehidupan sehari-hari, kita tak lepas dari kesalahan. Sebagai manusia, kita tak luput dari lupa, tergelincir, dan keliru. Namun, yang membedakan satu pribadi dengan yang lain bukanlah soal banyak atau sedikitnya kesalahan, melainkan bagaimana ia merespons kesalahan itu.
Imam Syafi’i, seorang ulama besar yang dikenal bukan hanya karena ilmunya, tetapi juga karena kedalaman akhlaknya, memberikan nasihat yang amat bijak: "Orang berakal akan meminta maaf jika bersalah, sedangkan orang bodoh sibuk beralasan dan berdebat." Ucapan ini mengandung pelajaran moral yang sangat relevan bagi siapa pun yang ingin tumbuh sebagai pribadi yang matang dan bertanggung jawab.
Meminta maaf bukanlah bentuk kelemahan, melainkan keberanian. Diperlukan kekuatan jiwa dan kejernihan akal untuk mengakui kesalahan. Orang yang berakal — dalam bahasa Imam Syafi’i — adalah mereka yang mampu menahan ego, menundukkan hawa nafsu, dan bersedia mengakui bahwa ia keliru.
Mengapa ini penting? Karena mengakui kesalahan adalah fondasi dari pertumbuhan pribadi dan perbaikan diri. Dalam Islam, taubat adalah bentuk tertinggi dari pengakuan kesalahan kepada Allah. Maka, meminta maaf kepada sesama manusia pun adalah bentuk nyata dari jiwa yang sadar akan kekeliruannya.
Sebaliknya, orang yang bodoh—bukan dalam arti kurang ilmu semata, tetapi dalam arti keras hati—lebih sibuk membela diri. Mereka mencari-cari alasan, menyalahkan keadaan, atau bahkan menyerang balik orang yang menunjukkan kesalahannya. Mereka lebih takut kehilangan muka daripada kehilangan kebenaran.
Sikap seperti ini bukan hanya merugikan dirinya, tetapi juga merusak hubungan sosial dan menghalangi pintu nasihat. Mereka mungkin tampak cerdas dalam berdebat, tetapi sesungguhnya sedang mempertontonkan kelemahan spiritualnya.
Bayangkan jika setiap individu dalam keluarga, sekolah, masyarakat, atau bahkan lembaga pemerintahan mampu mencontoh akhlak ini — mau mengakui kesalahan, meminta maaf, dan memperbaiki diri. Betapa damainya kehidupan. Tidak akan ada dendam yang berkepanjangan, tidak ada konflik yang membusuk karena gengsi, dan tidak ada pertengkaran yang tak berujung hanya karena tak mau mengalah.
Kebesaran suatu masyarakat terletak pada kerendahan hati para pemimpinnya. Keutuhan sebuah keluarga dijaga oleh keikhlasan untuk saling memaafkan. Dan kemuliaan seorang muslim ditandai oleh kemampuannya untuk jujur pada dirinya.
Di tengah dunia yang penuh dengan debat kusir, pembenaran diri, dan gengsi sosial, nasihat Imam Syafi’i ini datang bak embun penyejuk. Ia mengajarkan bahwa keutamaan bukan terletak pada seberapa pandai kita bicara, tapi seberapa tulus kita dalam bersikap.
Maka jika hari ini kita melakukan kesalahan—besar atau kecil—tak usah menunggu waktu untuk meminta maaf. Itulah bukti bahwa akal sehat masih memimpin hati kita. Sebab, kata Imam Syafi’i lagi di kesempatan lain: "Ilmu itu bukan yang banyak dihafal, tetapi yang bermanfaat."
Dan sungguh, manfaat terbesar dari ilmu adalah ketika ia menjadikan kita pribadi yang rendah hati, terbuka, dan siap untuk terus belajar dari kesalahan.
Sungguh luar biasa, sangat bermanfaat untuk saling mengingatkan pentingnya *kata maaf*
Tinggalkan Komentar