Suatu hari saya melihat seorang pemilik toko sembako menempelkan banner besar di depan tokonya: "Diskon Akhir Tahun!"
Sementara beberapa meter dari situ, seorang konten kreator TikTok sedang live streaming jualan produk yang sama — dan berhasil closing puluhan order hanya dalam 15 menit.
Pertanyaannya:
Masih layakkah promosi konvensional dipertahankan? Atau saatnya semua berpindah ke digital?
Promosi konvensional seperti spanduk, selebaran, iklan radio/koran, hingga event fisik punya kekuatan utama: membangun kedekatan fisik dan kepercayaan langsung.
Namun, di era pasca-pandemi dan serba digital seperti sekarang, metode ini mulai tertinggal karena:
Menurut laporan Nielsen (2023):"Iklan digital menghasilkan ROI 3--5x lebih tinggi dibanding media cetak."
Dengan hanya modal HP dan akun media sosial, siapa pun kini bisa menjadi "sales online." Promosi lewat:
Semua itu bisa dijalankan bahkan oleh pelaku UMKM sekalipun.
Data dari We Are Social (2024):"77% pengguna internet di Indonesia melakukan riset produk secara online sebelum membeli."
Artinya, jika produkmu tidak eksis di dunia digital, kamu tidak eksis di benak konsumen.
Opini saya sebagai jurnalis: promosi konvensional tidak mati, tapi harus bertransformasi.
Bayangkan jika:
Kombinasi dua dunia ini akan jadi senjata yang mematikan.
Tentang Penulis
Jefri Taufik adalah praktisi marketing independen yang fokus pada transformasi bisnis konvensional ke era digital. Antusias dan aktif menulis opini dan strategi pemasaran berbasis data dan perilaku konsumen digital.
Tinggalkan Komentar