Di tengah laju modernitas dan konsumtivisme, kita dihadapkan pada sebuah realitas sosial yang mengundang keprihatinan: sebagian komunitas, seperti etnis Tionghoa, dikenal mampu membangun kekayaan lintas generasi melalui etos kerja keras, hidup sederhana, dan manajemen keuangan yang terarah. Sementara itu, sebagian dari masyarakat kita justru terjebak dalam budaya konsumtif—baru mendapat “cuan” sedikit, gaya hidup langsung “naik selangit”.
Fenomena ini bukan sekadar masalah ekonomi, melainkan cermin dari pola pikir, budaya, dan orientasi hidup. Mengapa kita mudah terjebak pada simbol-simbol kemewahan sesaat, sementara tidak serius menyiapkan masa depan anak cucu?
Dalam Islam, hidup hemat dan tidak berlebih-lebihan adalah nilai yang sangat dijunjung tinggi. Firman Allah:
"Sesungguhnya pemboros itu adalah saudara-saudara setan."
(QS. Al-Isra: 27)
Nabi Muhammad ﷺ dikenal sebagai pribadi yang sederhana. Padahal, sebagai pemimpin umat, beliau bisa saja hidup dalam kemewahan. Namun beliau lebih memilih hidup sederhana, menggunakan hartanya untuk menolong fakir miskin, membebaskan budak, dan mendukung perjuangan dakwah.
Islam mengajarkan pentingnya kerja keras dan profesionalisme. Dalam hadis disebutkan:
"Tidaklah seseorang memakan makanan yang lebih baik daripada hasil jerih payah tangannya sendiri."
(HR. Bukhari)
Etnis Tionghoa banyak yang menanamkan nilai kerja keras sejak dini. Anak-anak dilatih untuk menghargai uang, memahami proses usaha, dan ikut terlibat dalam bisnis keluarga. Budaya ini sejalan dengan prinsip Islam: keberkahan rezeki ada pada usaha halal dan konsisten.
Islam menganjurkan keseimbangan dalam mengelola harta:
“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu (terlalu pelit) dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya (terlalu boros), karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.”
(QS. Al-Furqan: 67)
Artinya, Islam mendorong kita untuk memiliki perencanaan keuangan yang sehat—menabung, berinvestasi, dan bersedekah secara proporsional.
Salah satu bukti keseriusan dalam membangun kekayaan lintas generasi adalah dengan menyiapkan warisan yang produktif dan tidak hanya harta materi. Islam mengenal konsep wakaf, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan, sebagai bentuk warisan terbaik.
“Apabila anak Adam wafat, terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.”
(HR. Muslim)
Maka, membangun generasi mapan tidak cukup hanya dengan membelikan mereka gadget dan kendaraan, tetapi juga menanamkan nilai-nilai kesalehan, integritas, dan keterampilan hidup.
Kita perlu menggeser paradigma: dari “gaya dulu baru kaya” menjadi “kaya dulu baru gaya—itu pun sederhana”. Islam tidak melarang menikmati harta, tetapi melarang berlebih-lebihan dan pamer.
Kini saatnya membangun keluarga dan masyarakat yang cerdas finansial, produktif, dan visioner. Karena kaya yang hakiki adalah ketika harta kita bermanfaat bagi dunia dan akhirat. Sebagaimana sabda Nabi:
“Sebaik-baik harta yang baik adalah yang dimiliki oleh orang yang saleh.”
(HR. Ahmad)
Mari belajar dari komunitas yang sukses membangun kekayaan lintas generasi. Namun lebih dari itu, mari kita wujudkan kekayaan yang diridhai Allah, demi generasi yang kuat dan bermartabat.
Selamat menikmati akhir pekan dari tim utsmaniyah.or.id.
Ini sangat betul sx, realita yg kita tonton sekarang ini. Banyak sx kt lihat generasi2 saat ini hidup konsumtif, walaupun maaf TDK sesuai dgn penghasilan. Maaf jk tdk spendapat.
Tinggalkan Komentar