Hari ini, kita bisa membaca ribuan informasi hanya dalam waktu lima menit, namun berapa banyak yang benar-benar kita pahami? Di tengah derasnya arus digitalisasi, literasi seolah jadi barang lama yang kehilangan pesonanya. Anak-anak lebih cepat mengenal TikTok ketimbang membaca dongeng. Dewasa muda lebih tertarik membaca komentar netizen daripada artikel panjang yang kaya insight. Lansia pun sudah banyak yang lupa dulu ada koran yang menjadi bacaan rutin, sekarang Youtube lebih menarik untuk ditonton.
Data dari UNESCO menyebutkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia masih berada di angka memprihatinkan: hanya 1 dari 1000 orang yang gemar membaca buku. Di sisi lain, rata-rata waktu yang dihabiskan masyarakat Indonesia untuk berselancar di media sosial adalah lebih dari 3 jam per hari (We Are Social, 2024).
Ini bukan hanya soal berubahnya media. Ini soal berubahnya cara berpikir, cara memproses informasi, bahkan cara manusia menyusun makna. Kita lebih suka yang instan, visual, dan cepat viral, ketimbang membaca, merenung, dan memahami secara mendalam.
Apa upaya yang bisa menjadi salah satu aksi membangkitkan budaya literasi?
Namun bukan berarti literasi kalah total. Justru ini saatnya literasi bertransformasi melalui:
Mari kita mulai dari diri sendiri dan kobarkan api semangat optimis, tularkan ke orang terdekat kita, bahwa: “Kita tidak sedang kehilangan minat baca. Kita hanya butuh cara baru untuk menyalurkan minat itu. Literasi harus mengejar zaman, bukan sekadar menentangnya.”
Tentang Penulis
Jefri Taufik adalah praktisi marketing independen yang fokus pada transformasi bisnis konvensional ke era digital. Antusias dan aktif menulis opini dan strategi pemasaran berbasis data dan perilaku konsumen digital.
Tinggalkan Komentar