Artikel ini tentu saja bisa dikaitkan dengan Peringatan Hari Pendidikan Nasional tanggal 02 Mei 2025. Hari Pendidikan Nasional dapat menjadi momentum penting untuk merenungkan tentang Pendidikan Indonesia, sebab hari itu dilabel sebagai hari yang terkait dengan Upaya untuk meningkatkan pendidikan nasional. Sebuah momentum yang menentukan tentang bangsa Indonesia di masa depan. Semua pakar di berbagai disiplin ilmu menyepakati bahwa pendidikan merupakan instrument terbaik di dalam pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM).
Akhir-akhir ini banyak pakar, khususnya pakar pendidikan, yang menyatakan bahwa pendidikan Indonesia gagal. Di antara buktinya adalah kualitas pendidikan Indonesia yang belum menuai kata berhasil. Dari berbagai survey tentang kualitas Pendidikan Indonesia memberikan gambaran bahwa kualitas pendidikan Indonesia masih berada di bawah beberapa negara Asia Tenggara, seperti Malaysia, Thailand, Singapura dan bahkan Vietnam. Dari 78 negara yang disurvey oleh World Population Review 2021 tentang kualitas pendidikan tahun 2022, Indonesia berada di peringkat 54, Singapura berada di urutan 21, Malaysia 38 dan Thailand di peringkat 46.
Tentu saja tidak dapatlah kiranya menjadikan hasil survei untuk menjadi pengukuran eksak tentang kualitas pendidikan. Namun hasil survei dapat memberikan gambaran umum tentang kualitas pendidikan khususnya dibandingkan dengan negara-negara lain. Tentu saja terdapat indikator yang sama yang dipakai untuk mengukur kualitas pendidikan dimaksud. Dan dengan melalui pengukuran yang digunakan oleh lembaga survei dapat menentukan kesimpulan tentang kualitas lembaga pendidikan.
Di perguruan tinggi juga dapat ditemukan berbagai standart pengukuran oleh lembaga-lembaga pemeringkatan internasional, misalnya Webometrics, 4ICU, dua pemeringkatan untuk mengungkapkan kualitas informasi atau web yang dimiliki oleh institusi pendidikan tinggi. Untuk merekognisi kualitas lembaga pendidikan tinggi dalam standarisasi organisasi internasional, maka digunakan misalnya ISO 9001 atau lainnya, untuk mengakui kualitas program pendidikan misalnya dilakukan oleh UniRank, atau institusi akreditasi internasional, misalnya AUNQIA, Times Higher Education, Shanghai Jiaotong, QS World Uinversity Ranking dan sebagainya. Bahkan untuk mengukur lingkungan kampus maka dirumuskan UI greenmetric. Bahkan tidak jarang pimpinan PT lalu mendorong agar institusi atau prodi yang sudah mendapatkan rekognisi nasional sebagai PT unggul agar mengikuti program pengakuan internasional.
Inilah yang dikhawatirkan oleh Mary Evans yang menulis buku yang menjadi pengingat bagi lembaga pendidikan tinggi dengan judulnya yang menarik “Killing Thinking, The Death of Universities” diterbitkan oleh Biddles Ltd, King’s Lynn di Inggris Raya. Ada ungkapan yang menarik di dalam introduction dinyatakan: “the more its cost, the less its worth”. Ungkapan para mahasiswa, student slogan, London, 2003). Saya menjadi ingat akan tuntutan para mahasiswa agar pemerintah menurunkan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang ditetapkan oleh PTN-BH. Dan akhirnya Kemendikti membuat aturan agar PTN tidak menaikkan tarif UKT, yang kenyataannya banyak membuat mahasiswa dan orang tua “menjerit” karena kemahalannya atau nyaris tidak terjangkau. Lalu, banyak PT yang ramai-ramai membuat iklan di media sosial bahwa PT yang dikelolanya tidak menaikkan UKT-nya. Termasuk juga kecenderungan PT untuk menampangkan prestasi pemeringkatan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga internasional. Di antara ukuran keberhasilan PT adalah jika PT yang dikelolanya mendapatkan peringkat dimaksud.
Di dalam Bab berikutnya diungkapkan tentang “The Heart of Darkness, Audit and Complience”, bahwa salah satu di antara pekerjaan besar yang dilakukan oleh PT adalah dengan mengikuti sistem audit dan kepatuhan atas berbagai pemeringkatan baik nasional maupun internasional. Saya kira yang dimaksudkan oleh Mary Evans tentang tidak perlu audit atau patuh pada regulasi bermakna PT dapat melakukan segala sesuatu dengan “kebebasan” yang mutlak. Akan tetapi yang dipikirkan adalah jangan sampai audit dan complience tersebut memasung PT untuk tidak berpikir tentang bagaimana mengembangkan pemikiran kritis, sebagai eksistensi PT. Melalui mindset pengakuan demi pengakuan, maka diwajibkan untuk mematuhi atas ukuran atau standar yang dijadikan sebagai rujukan pemeringkatan. Jadi para pengelola institusi pendidikan harus berpikir reguler atau berpikir in the box dan bukan berpikir lateral atau out of the box. PT tidak berani untuk mengembangkan pendidikan yang bercorak liberal dalam konteks positif, sebab telah dibatasi oleh berbagai audit dan kepatuhan yang harus disandangnya.
PT di dunia bukan hanya di Indonesia dihinggapi oleh mindset agar masuk dalam pemeringkatan di dalam institusi pemeringkatan internasional, sebab inilah yang dapat dijual untuk menjadi strong brand image untuk menarik calon mahasiswa. Banyak di antaranya yang lebih hafal mengenai indikator pemeringkatan dibanding dengan indikator agar lulusannya memiliki kapasitas di dalam menghadapi dunia yang berubah dengan cepat. PT sedang berada di tengah tantangan generasi milenial dengan seabrek labelling di dalamnya, misalnya generasi rebahan, generasi strawberry, generasi brain rot, duck syndrome dan sebagainya yang menjadi tantangan PT dalam kaitannya dengan kehidupan masa depan generasi milenial. Belum lagi tantangan lingkungan ekologis dan sosial, politik, budaya dan ekonomi yang juga tidak kalah garangnya di tengah kehidupan para generasi milenial.
Oleh karena itu, pengelola pendidikan harus mencoba keluar dari jaring-jaring birokrasi administratif menjadi birokrasi pemikiran yang mengandaikan bahwa PT harus terlibat dengan berbagai proyek “kemanusiaan” yang dari situlah sebenarnya makna dari tri darma perguruan tinggi yang sudah digagas semenjak tahun 1950-an oleh para founding fathers pendidikan tinggi.
Jadi keberhasilan pendidikan bukan ditentukan hanya oleh pemeringkatan, tetapi sebagaimana yang sekarang sedang dibicarakan oleh para pakar dan birokrat pendidikan tinggi, bahwa Perguruan Tinggi Berdampak. Dan di antara indikatornya adalah lahirnya pemikiran kritis untuk perubahan menuju realitas yang lebih baik dan berdaya guna bagi lulusannya serta perubahan akseleratif bagi masyarakatnya.
Wallahu a’lam bi al shawab.
Tinggalkan Komentar