Seringkali kita mendengar, belajarlah kepada guru secara langsung, agar ilmu yang diperoleh memiliki sanad (ketersambungan) yang jelas. Jangan belajar hanya dari Google atau chat GPT. Apalagi menyangkut ilmu agama yang membutuhkan pemahaman yang benar. Tidak sedikit orang memiliki pemahaman agama sempit, mudah menyalahkan orang lain, hanya karena bahan bacaan yang terbatas. Lebih-lebih karena tidak bisa mengakses sumber-sumber utama.
Ilmu yang didapat tanpa guru bisa menyebabkan kurangnya pemahaman terhadap substansi. Bahkan berpotensi terjadinya pembelokan makna yang sama sekali jauh dari pemahaman mainstream (ijma). Artinya, keberadaan guru menjadi hal yang sentral dalam proses pembelajaran berkelanjutan. Ada sebuah ungkapan menarik: "ilmu itu diambil dari lisan para ulama, bukan hanya dari buku".
Saya teringat ucapan Sayyidina Ali bin Abi Thalib, "Aku rela menjadi budak dari orang yang telah mengajariku satu buah kata". Sebuah ungkapan jujur dan tegas dari seorang pemimpin besar Islam terhadap tingginya kedudukan seorang guru sebagai mediator ilmu. "Irsyadu ustadzin" atau pentunjuk guru menjadi rukun mencari ilmu sebagaimana ditegaskan Al-Zarnuji dalam kitabnya Ta'lim al-Muta'alim yang sangat populer di kalangan pesantren.
Mulyadhi Kertanegara cukup apik mengurai tentang posisi guru dalam sejarah Islam. Guru, menurutnya, bukan sekadar pengajar, tetapi menjaga ilmu, pembimbing akhlak, dan penjuru peradaban. Ilmu berkembang karena adanya guru yang menyalurkan pengetahuan dari generasi ke generasi.
Tidak ada sarjana besar tanpa guru yang membentuknya. Ibn Sina, yang kelak dikenal sebagai filsuf dan dokter jenius, tetap berguru sebelum akhirnya belajar secara mandiri. Yaqut al-Hamawi bahkan menimba ilmu dari lebih dari 3.000 guru. Ini menunjukkan betapa besar peran guru dalam membentuk pemikiran dan keilmuan seseorang.
Sistem pendidikan Islam mengenal jenjang guru yang mencerminkan keilmuan dan otoritas mereka. Seorang mu’allim mendidik anak-anak di tingkat dasar, menanamkan fondasi ilmu. Mu’addib bukan hanya pengajar, tetapi juga penanam adab dan karakter.
Sementara Mudarris berperan seperti asisten profesor, menjelaskan hal-hal sulit bagi murid yang membutuhkan bimbingan lebih. Syeikh adalah guru besar, simbol keunggulan akademis dan spiritual. Sedangkan Ustadz mengajarkan ilmu agama, serta imam adalah puncak dari hierarki keilmuan, menjadi panutan dalam pemahaman Islam.
Pendidikan dalam Islam menempatkan keahlian sebagai syarat utama dalam memilih guru. Keilmuan seseorang lebih penting daripada latar belakang sosial atau agamanya. Al-Farabi, yang dikenal sebagai Guru Kedua setelah Aristoteles, tidak ragu berguru kepada dua pemikir Kristen, Yohanna bin Haylan dan Bisyr Matta bin Yunus.
Sebaliknya, Yahya bin 'Adi, seorang Kristen, justru menimba ilmu dari al-Farabi. Ibn Sina pun tidak membatasi dirinya hanya pada guru Muslim. Ilmu adalah milik semua yang mencarinya, dan Islam mengajarkan bahwa kebenaran harus diterima dari siapa pun yang membawanya.
Di tangan guru, ilmu bukan sekadar kumpulan teori, tetapi cahaya yang menerangi akal dan jiwa. Mereka bukan hanya pengajar, tetapi penggerak peradaban, penjaga kebenaran, dan penyampai hikmah. Guru adalah cermin bagi murid-muridnya yang mewujud dalam sikap, ucapan, dan perilakunya.
Sejak awal, Islam menjunjung tinggi ilmu sebagai jalan menuju pemahaman yang lebih luas dan membentuk karakter mulia. Guru adalah jembatan yang menghubungkan masa lalu dengan masa depan. Tanpa mereka, keilmuan akan terhenti, dan peradaban akan kehilangan arah. Wallahu a'lam.
Tinggalkan Komentar