Di saat media sosial menjelma sebagai ruang pamer amal dan gaya hidup, ada baiknya kita kembali merenungi makna tawadhu. Ia bukan sekadar menunduk di hadapan manusia, tapi sujud hati yang hening di hadapan Tuhan. Ia adalah pengakuan lirih bahwa kita bukan siapa-siapa, meski dunia bersorak menyebut kita luar biasa.
Ada kalimat lembut yang mengetuk:
““Yang merendah karena sadar kekurangannya, akan ditinggikan oleh Allah. Tapi yang merasa tinggi karena amalnya, justru jatuh tanpa disadari.”
Tawadhu bukan memalsukan kehinaan, tapi menyadari bahwa segala kemuliaan hanyalah limpahan karunia. Bahkan amal terbaik pun tak pantas dibanggakan—sebab semua kekuatan, bahkan niat baik, sejatinya pinjaman dari-Nya.
Rendah hati tumbuh dari ma’rifat: siapa mengenal Tuhannya, akan mengenal dirinya. Dan siapa mengenal dirinya, tak akan merasa lebih tinggi dari siapa pun. Sebab di balik pakaian rapi dan gelar panjang, kita semua hanyalah hamba yang berharap diterima.
Tawadhu bukan topeng, tapi cermin. Ia memantulkan kenyataan bahwa tak ada jarak hakiki antara dirimu dan yang lain. Mungkin justru mereka yang kau anggap biasa, lebih dekat kepada-Nya tanpa kau tahu.
Lalu ada suara bijak berbisik dari balik zaman:
“Bersikaplah seperti bumi—semua menginjaknya, tapi justru darinya tumbuh kehidupan.”
Tawadhu adalah menjadi alas, bukan untuk diinjak demi harga diri, tapi agar hidup tumbuh bagi yang lain. Ia tak ingin sekadar viral, tapi yg lebih penting lagi, postingannya bisa dikenal oleh Yang Maha Melihat.
Kini, mari bertanya: adakah tawadhu dalam unggahan dan komentar kita? Saat jempol menekan tombol “post”, bisakah hati kita tetap bersujud?
Bukan hanya mencari like followers, tapi ridha dari Dia yang tak terlihat di layar, namun selalu hadir di relung jiwa.
Tabik…
Tinggalkan Komentar