Ada yang memilih jalan syariah, menghafal matan demi matan, menyelam dalam samudra fikih. Ada pula yang menempuh jalan tasawuf, melatih hati dengan wirid, menyucikan niat demi kejernihan ruhani.
Dua jalan ini tampak berbeda. Yang satu menata lahir, yang satu mengolah batin. Tapi pada akhirnya, keduanya bertemu di simpang yang sama: adab dan akhlak.
Adab dan akhlak sering disandingkan, namun tak selalu serupa. Adab tampak di luar—cara bicara, duduk, bersikap. Akhlak tumbuh di dalam—kejujuran, kesabaran, ketulusan. Adab bisa diajarkan. Akhlak harus ditumbuhkan. Adab adalah bunga, akhlak adalah akar. Tanpa akar, bunga akan layu.
Imam al-Ghazali, yang menggabungkan kedalaman syariat dan keluasan tasawuf, menutup Ihya’ ‘Ulumuddin dengan akhlak mulia. Seolah berbisik: inilah ujung ilmu, inilah buahnya.
Maka jika ada yang mengaku menegakkan syariah, merasa paling nyunnah, atau meniti jalan zikir; yang nyantri belasan tahun, hafal Qur’an, gelarnya berderet, namanya diawali Kiai, Bu Nyai, Gus, Ning, Habib, atau Syarifah—tapi tutur katanya kasar, sikapnya merendahkan, lisannya suka menghakimi, dan hatinya jauh dari kasih—ketahuilah: dia masih berputar-putar di sekeliling dirinya. Ilmunya belum berbuah. Zikirnya belum menembus dinding ego. Ilmu dan amalnya belum cukup melembutkan jiwa.
Ukuran keberhasilan bukan panjangnya sanad atau tebalnya kitab, tapi apakah ilmu itu menjadikan seseorang lebih lapang, lebih lembut, lebih bijak.
Karena ilmu sejati bukan pada argumen yang tajam, tapi pada adab saat berbeda, dan akhlak saat diuji.
Ya Allah, jadikan kami beradab dan berakhlak seperti kekasih kami, shalallahu ‘alayhi wa alihi wassalam.
Tabik…
Tinggalkan Komentar